Format Kerja Sama Seharusnya Menguntungkan Semua Partai Politik Koalisi Bukan Merugikan
Format Kerja Sama Seharusnya Menguntungkan Semua Partai Politik Koalisi Bukan Merugikan
Pemilu serentak di mana pemilu legislatif (pileg) dan pemilu presiden (pilpres) dilaksanakan secara simultan membuat partai politik (parpol) sudah harus membentuk koalisi sebelum pemilu.
Namun berdasarkan hasil sejumlah lembaga survei, ada beberapa parpol yang terancam tidak lolos parlemen baik dari koalisi pendukung pasangan calon (paslon) nomor urut 01 maupun nomor urut 02.
Untuk itu, format kerja sama koalisi ini harus menguntungkan semua parpol dalam koalisi khususnya terkait efek elektoralnya. Sehingga, presiden yang terpilih nanti mendapatkan dukungan mayoritas di parlemen.
Menurut Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (SIGMA), fenomena ini terjadi karena format kerja sama koalisi yang lebih menitikberatkan pada pembagian jatah menteri saat menang saja, tetapi tidak dari sisi elektoral bagi masing-masing parpol koalisi.
Ini mengindikasikan ada sesuatu yang salah dari format kerjasama politik antara parpol koalisi dengan calon Presiden (capres) dan calon Wakil Presiden (cawapres) yang mereka dukung.
“Suatu kerja sama politik seharusnya dilandasi oleh asas saling menguntungkan. Ketika parpol bersedia memberikan tiket pencalonan kepada capres-cawapres, disitu semestinya ada kesepakatan timbal balik,” kata Direktur Eksekutif SIGMA Said Salahuddin kepada wartawan di Jakarta, Jumat (9/11/2018).
Menurut Said, selain kompensasi berupa kursi kabinet, bentuk timbal balik penting lainnya bagi parpol tentu saja adalah bagaimana capres-cawapres bisa ikut membantu dalam mengerek elektabilitas parpol pengusungnya agar mereka bisa lolos Parliamentary Threshold (PT) sebesar 4% secara nasional.
“Dengan lolos PT, maka parpol dalam barisan koalisi kelak dapat melanjutkan kerja sama politiknya dengan capres-cawapres terpilih melalui parlemen guna mengamankan program-program pemerintahan baru yang dibentuk,” ujarnya.
Namun lanjut Said, menjadi masalah ketika sejumlah lembaga survei mengatakan pilpres akan dimenangkan oleh pasangan nomor urut 01 tetapi hasil pilegnya PPP dan Partai Hanura justru diprediksi tidak lolos parlemen.
Partai NasDem juga diprediksi tidak lagi masuk parlemen dan Partai Golkar mengalami penurunan elektabilitas. Sama halnya dengan fenomena di paslon nomor urut 02 di mana PKS dan PAN justru tergusur dari DPR. Begitu juga Partai Demokrat yang juga terancam tidak lolos.
“Nah, hasil dari survei-survei itu kan aneh sekali. Tentu saja keanehannya bukan pada empat lembaga yang melakukan survei terakhir, kalaupun ada yang meragukan kredibilitas mereka, itu soal lain.
Yang aneh itu kenapa mayoritas parpol koalisi yang sudah lebih dari satu bulan jungkir-balik berkampanye untuk kedua pasangan, justru berpeluang gagal memiliki wakil di DPR? Inilah pertanyaan besarnya,” tegasnya.
Oleh karena itu, menurut Said, perlu ada pembaruan format kerja sama politik di antara parpol dengan masing-masing capres-cawapres, khususnya dalam model kampanye yang dikembangkan. Sebab, jika tidak, hasil survei diatas sangat mungkin akan benar-benar terjadi.
“Dengan hanya lima parpol di Senayan, maka hampir dapat dipastikan akan terjadi perubahan yang sangat besar dalam peta politik nasional ke depan,” tandasnya.
Pemilu serentak di mana pemilu legislatif (pileg) dan pemilu presiden (pilpres) dilaksanakan secara simultan membuat partai politik (parpol) sudah harus membentuk koalisi sebelum pemilu.
Namun berdasarkan hasil sejumlah lembaga survei, ada beberapa parpol yang terancam tidak lolos parlemen baik dari koalisi pendukung pasangan calon (paslon) nomor urut 01 maupun nomor urut 02.
Untuk itu, format kerja sama koalisi ini harus menguntungkan semua parpol dalam koalisi khususnya terkait efek elektoralnya. Sehingga, presiden yang terpilih nanti mendapatkan dukungan mayoritas di parlemen.
Menurut Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (SIGMA), fenomena ini terjadi karena format kerja sama koalisi yang lebih menitikberatkan pada pembagian jatah menteri saat menang saja, tetapi tidak dari sisi elektoral bagi masing-masing parpol koalisi.
Ini mengindikasikan ada sesuatu yang salah dari format kerjasama politik antara parpol koalisi dengan calon Presiden (capres) dan calon Wakil Presiden (cawapres) yang mereka dukung.
“Suatu kerja sama politik seharusnya dilandasi oleh asas saling menguntungkan. Ketika parpol bersedia memberikan tiket pencalonan kepada capres-cawapres, disitu semestinya ada kesepakatan timbal balik,” kata Direktur Eksekutif SIGMA Said Salahuddin kepada wartawan di Jakarta, Jumat (9/11/2018).
Menurut Said, selain kompensasi berupa kursi kabinet, bentuk timbal balik penting lainnya bagi parpol tentu saja adalah bagaimana capres-cawapres bisa ikut membantu dalam mengerek elektabilitas parpol pengusungnya agar mereka bisa lolos Parliamentary Threshold (PT) sebesar 4% secara nasional.
“Dengan lolos PT, maka parpol dalam barisan koalisi kelak dapat melanjutkan kerja sama politiknya dengan capres-cawapres terpilih melalui parlemen guna mengamankan program-program pemerintahan baru yang dibentuk,” ujarnya.
Namun lanjut Said, menjadi masalah ketika sejumlah lembaga survei mengatakan pilpres akan dimenangkan oleh pasangan nomor urut 01 tetapi hasil pilegnya PPP dan Partai Hanura justru diprediksi tidak lolos parlemen.
Partai NasDem juga diprediksi tidak lagi masuk parlemen dan Partai Golkar mengalami penurunan elektabilitas. Sama halnya dengan fenomena di paslon nomor urut 02 di mana PKS dan PAN justru tergusur dari DPR. Begitu juga Partai Demokrat yang juga terancam tidak lolos.
“Nah, hasil dari survei-survei itu kan aneh sekali. Tentu saja keanehannya bukan pada empat lembaga yang melakukan survei terakhir, kalaupun ada yang meragukan kredibilitas mereka, itu soal lain.
Yang aneh itu kenapa mayoritas parpol koalisi yang sudah lebih dari satu bulan jungkir-balik berkampanye untuk kedua pasangan, justru berpeluang gagal memiliki wakil di DPR? Inilah pertanyaan besarnya,” tegasnya.
Oleh karena itu, menurut Said, perlu ada pembaruan format kerja sama politik di antara parpol dengan masing-masing capres-cawapres, khususnya dalam model kampanye yang dikembangkan. Sebab, jika tidak, hasil survei diatas sangat mungkin akan benar-benar terjadi.
“Dengan hanya lima parpol di Senayan, maka hampir dapat dipastikan akan terjadi perubahan yang sangat besar dalam peta politik nasional ke depan,” tandasnya.
Comments
Post a Comment